Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah THR, Tunjangan Hari Raya. Peran Seorang Soekiman Wirjosandjojo

Sejarah THR, Tunjangan Hari Raya. Peran Seorang Soekiman Wirjosandjojo. Sudah rutin dan jamak rasanya, setiap bulan ramadan menapaki hari-hari terakhir, itu artinya sebentar lagi, umat Muslim merayakan hari raya lebaran. Banyak tradisi yang mengakar dan sudah bersifat kultural di Indonesia yang dilakukan menjelang Lebaran pun dilakukan untuk menyemarakkan Idulfitri. Beberapa diantara yang lazim kita temui hingga hari ini adalah persiapan menjelang mudik lebaran. Tradisi berbelanja keperluan shalat ied atau lebarab, berbelanja baju lebarang, sarung, mukena, pecis hingga kue-kue untuk lebaran. Bahkan, tak ketingalan, kembang api dan petasan pun laris beberapa hari menjelang lebaran. 

 

Sejarah THR, Tunjangan Hari Raya

Bagi para buruh atau karyawan, inilah masa bahagia mereka. Juga masa bahagia bagi keluarga besar mereka. Istri, anak, orang tua, mertua, saudara kandung, saudara ipar dan keponokan, juga ikut merasakan bahagianya. Kenapa? Karena biasanya mereka menerima THR.

Namun tahukah kamu bagaimana sejarahnya THR itu? Sejak kapan mulai adanya THR yang diberikan untuk pekerja di Indonesia ini?

Tunjangan Hari Raya (THR) adalah sebuah bentuk insentif yang diberikan kepada karyawan di Indonesia untuk menyambut hari raya besar seperti Idul Fitri. THR pertama kali diberikan pada tahun 1975 oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan konsumsi dan daya beli masyarakat selama periode hari raya. Pemberian THR ini biasanya dilakukan setiap tahun pada bulan Ramadhan atau bulan Syawal, tergantung pada tanggal penanggalan hijriyah. Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia memberikan THR sebesar Rp. 2.4 juta per karyawan. Pemberian THR ini merupakan salah satu bentuk dukungan pemerintah terhadap karyawan di Indonesia, dan diharapkan dapat membantu mereka dalam menjalani hari raya dengan lebih meriah.

Asal Usul Munculnya THR

Mengutip artikel dari Kabarburuh.com, asal usul munculnya THR ini. Konon, pertama kali muncul pada masa pemerintahan Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno, tepatnya pada masa kerja kabinet Soekiman Wirjosandjojo. Kabinet tersebut yang dilantik pada tahun 1951, salah program kerjanya adalah meningkatkan kesejahteraan para Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Awalnya, tunjangan diberikan hanya kepada aparatur negara saja, ya hanya kepada para PNS saja, kalau sekarang ganti istilah dengan ASN (aparatur sipil negara). Konon katanya, pemberian jatah tunjangan ini, tiada lain rupanya merupakan sebuah strategi pemeritnah untuk mengikat secara halus para PNS, agar para PNS di masa itu memberikan dukungan penuh kepada kabinet yang sedang berjalan kala itu.

Dalam implementasinya, Menteri Soekiman membayarkan THR ini kepada para PNS di akhir bulan ramadan. Kala itu, jumlah sekitar Rp 125 perak, mungkin sekitar Rp 1,2 juta juta di masa sekarang (2010-an). Ada juga yang mendapatkan sebesar Rp 200 atau setara Rp 2 jutaan, di masa sekarang. Uniknya, kala itu THR tidak hanya berupa uang semata, Menteri Soekiman juga membagikan tunjangan berupa benda fisik, yakni beras.

Sayangnya, kebijakan memberikan THR, yang hanya untuk para abdi negara ini, mengundang kecemburaun. Kebijakan tersebut mendapat gelombang protes berkepanjangan dari kaum buruh. Kebijakan Sang Menteri ini dianggap pilih kasih oleh para buruh, tentu karena hanya memberikan TRH kepada abdi negara saja. Kaum buruh, menuntut agar nasib mereka turut mendapatkan perhatikan oleh pemerintah. Gelombang protesnya bermuaara pada 13 Februari 1952, dimana para buruh melancarkan aksi mogok kerja. Protes mereka ini berupa turun ke jalan dan berdemonstrasi dengan tuntutan agar diberikan tunjangan dari pemerintah di setiap akhir Ramadan.

Hal ini tidak terlepas adanya sentimen dan kecemburuan sosial di tengah masyarakat Indonesia saat itu. Pada masa itu, aparat pemerintah Indonesia mayoritas diisi oleh para kaum priyayi, ningrat atau kalangan atas lainnya. Para buruh menilai kebijakan pemerintah ini, tidak adil bagi mereka. Karena mereka merasa turut punya andil dan peran dengan bekerja keras bagi perusahaan-perusahaan swasta dan milik Negara, namun mereka tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Tidak jelas, apakah aksi protes tersebut, dengan segala tuntutannya disetujui pemerintah atau tidak. Namun, THR di era Soekiman akhirnya menjadi cikal bakal bagi pemerintah untuk menjadikan THR sebagai anggaran rutin negara dari tahun ke tahun.

Barulah pada tahun 1994, pemerintah secara resmi mengatur perihal THR ini. Secara khusus, pemerintah membuat landasan hukum. Berupa Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.

Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa para pengusaha wajib memberikan THR kepada para buruhnya. Terutama untuk buruh yang telah bekerja selama tiga bulan secara terus menerus atau lebih. Besaran THR yang diterima tentu disesuaikan dengan masa kerja. Pekerja yang telah memiliki masa kerja hingga 12 bulan secara berturut-turut atau lebih, akan menerima THR sebesar satu bulan gaji.

Adapun buruh yang mempunyai masa kerja tiga bulan secara terus-menerus, tetapi kurang dari 12 bulan, tetapa mendapatkan THR. Namun, diberikan secara proporsional dengan masa kerjanya, yakni dengan perhitungan masa kerja/12 x 1(satu) bulan gaji.

22 tahun kemudian, tepatnya pada 2016 ini, pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan tersebut. Perubahan ini tertuang dalam peraturan menteri ketenagakerjaan No.6/2016. Peraturan baru ini menyebutkan, bawah pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan, sudah layak dan berhak mendapatkan THR. Kewajiban untuk memberi THR ini ternyata tidak hanya bagi karyawan tetap saja. Tetapi, berlaku juga untuk pegawai kontrak, termasuk dengan pekerja PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu), hingga pekerja PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu).

Posting Komentar untuk "Sejarah THR, Tunjangan Hari Raya. Peran Seorang Soekiman Wirjosandjojo "