Strategi Branding Produk After Corona, Bersama Dewa Eka Prayoga dan Dody Zulkifli
STRATEGI BRANDING PRODUK AFTER CORONA
Oleh Sita Oktaviani
Tulisan ini saya rangkum dari LIVE Youtube kang Dewa Eka Prayoga semalem bersama salah satu pakar brand Indonesia Mas Dodi Zulkifli
Saya share disini karena yang dibahas banyak ilmu dagingnya, semoga bermanfaat buat temen-temen saya semua. Kita pejuang UKM yang sedang berusaha untuk bertahan terus di situasi krisis ekonomi dan pandemic corona ini.
Awal pembukaan live youtube semalam dibuka dengan gambaran konkret kondisi krisis ekonomi yang lalu. Tahun 1998 krisis ekonomi yang terjadi adalah kurs dollar mencapai 20 ribuan dan bunga bank mencapai 60% setahun. Itu membuat para pengusaha yang menggunakan hutang bank tiarap semua.
Tapi tahun 2020 saat ini yang terjadi adalah krisis ekonomi plus pandemic corona. Nah para pengusaha senior (pengalaman bisnis diatas 10 tahun) biasanya sudah pengalaman dan pernah mengalami krisis ekonomi seperti yang terjadi saat ini beberapa kali. Sehingga mereka sudah punya strategi-strategi tersendiri untuk mampu bertahan. Hanya saja untuk kita yang para UKM sekitar 10 tahun an ke bawah belum memiliki pengalaman apa-apa dalam menghadapi krisis ekonomi. Apalagi sekarang banyak sedang tumbuh UKM ber-usia 1-2 tahunan. Dan inilah pengalaman pertama para UKM (yang dibawah 10 tahun) dalam mengahadapi krisis ekonomi global.
Nah tapi tahu nggak, tahun 2008 pernah terjadi Krisis Ekonomi Global tapi tahu nggak kalau Indonesia nggak kena dampaknya begitu besar. Salah satu penyebabnya adalah temen-temen UKM kayak kita begini. Dan UKM ini adalah salah satu Pahlawan bangsa Indonesia. Luar biasa UKM kan. Kenapa? Karena 60% PDB (Pendapatan Domestik Bruto) Indonesia saat itu disumbang oleh UKM. Dan ini sector riil banget. Ada barang, ada uang. Maksudnya adalah pembeli berikan uang untuk belanja suatu barang ke penjual, lalu pembeli mendapatkan barang tersebut. Nah inilah yang dinamakan sector riil. Sedangkan di Amerika kenapa terkena dampak krisis global tahun 2008 tersebut, karena disana lebih dominan sector non riil seperti obligasi, surat berharga, dll. Sehingga ketika harga saham global ambruk. Ya wes ambruk semua ekonomi akhirnya. Beda sama Indonesia yang banyak sector riil nya.
Lalu apa yang membedakan lagi antara tahun 1998 dan 2020? Kalau tahun 1998 itu yang berubah hanya Daya Beli saja. Maksudnya adalah misalnya orang yang biasanya makan martabak 2x seminggu, bisa berkurang menjadi 1x atau bahkan tidak beli martabak dulu. Lalu mengubah pola konsumsi, yang biasanya martabak harga 40 ribu diganti menjadi martabak yang lebih murah. Mencari brand martabak yang lebih murah. Yang penting bisa makan martabak. Dan menurunkan frekuensi belanja martabaknya. Nah khawatirnya adalah kalau krisis berlalu, sedangkan customer kita yang biasa belanja martabak 40 ribu an itu sudah terbiasa makan yang brand martabak harga 20 ribuan, itu berarti kita akan kehilangan juga customer kita saat krisis sudah berakhir.
Ok, sekarang misalnya nih ada sebuah brand bakso yang biasanya harga 40 ribu semangkok dengan kualitas daging sapi yang padat sekali komposisinya dan HPP nya memang tinggi, apakah harus menurunkan kualitasnya agar konsumen tetap mampu membeli bakso premium tersebut di masa krisis seperti ini? Sebaiknya tidak usah yaa, kenapa? Karena kalau menurunkan kualitas sehingga harga HPP lebih murah itu akan membuat para konsumen merasakan ketidaknyamanan di produk bakso tersebut lagi. Sehingga konsumen pun akan kecewa, karena sudah biasa makan enak untuk brand tersebut eeh ini malah jadi ambyaar nggak karuan lagi rasanya. Bisa-bisa banyak konsumen yang lari dan berhenti berlangganan. Lantas sebaiknya harus bagaimana?
Mungkin kita bisa mencontoh produk brand Beng-beng. Tahu kan? Snack cokelat ini dulu sebelum krisis ’98 itu ukurannya besar banget, jauh lebih besar dari Beng-beng sekarang ini. Pada saat krisis tahun ’98 perusahaan Beng-beng ini menerapkan strategi Down Sizing, mengecilkan ukuran dengan kualitas yang sama sehingga bisa menekan harga agar lebih murah juga. Dan akhirnya Beng-beng pun mampu bertahan dalam menghadapi krisis ’98 yang lalu.
Nah itu kan produk kuliner, kalau produk gamis bagaimana? Apakah harus pakai stragegi Down Sizing juga? Yaa nggak laah yaa hahahaha, coba bayangin orang pakai gamis empet-empetan sama badan, kan ga mungkin juga kan hihihi. Nah strategi yang bisa dilakukan oleh produsen gamis adalah dengan membuat Sister Brand untuk harga yang lebih murah. Brand lain yang lebih murah harga dan kualitasnya. Strategi membuat sister brand apa ya? Untuk saat ini nggak usah pakai strategi aneh-aneh dulu, yang penting produk sister brand itu bisa dibeli masyarakat dan bisa jadi cash dengan cepat.
Hal di atas kan gambaran kondisi agar bisnis bisa bertahan di krisis ekonomi seperti krisis pada tahun ’98. Lha hari ini, selain krisis ekonomi ditambah lagi dengan pandemi virus Corona. Double Impact. Apa yang harus dilakukan? Sebelum itu, baiknya kita analisa dulu dampaknya dari Pandemi Corona ini. Dan dampaknya ada yang positif da nada juga negative-nya. Untuk positif terdapat pada sector bisnis seperti kesehatan, mie instan, dan frozen food. Karena di sector-sektor ini marketnya sedang naik, sehingga nggak perlu pakai brand apa-apa, nggak ribet positioning pasti udah rame dan overload banjir orderan. Gampang banget dah untuk jualnya. Satu lagi, ketika sedang bisnis di kuliner untuk saat ini agar bisa tetap berpenghasilan adalah dengan membangun sinergi dengan komunitas-komunitas yang menggalang dana untuk mendonasikan makanan kepada para tim medis dll.
Lalu yang kena dampak negative apa saja? Misalnya travel, entertain yang dilakukan diluar rumah, dll itu tidak bisa beroperasi sama sekali. Karena mau diapa-apain juga nggak bisa gerak. Blaasss. Nah untuk yang tidak bisa bergerak sama sekali ini kita harus lihat dulu apa saja kesiapannya dalam kemampuannya bertahan di situasi ini. Apakah dia tidak punya dana darurat sama sekali? Tidak punya cash sama sekali? Kalau iya, maka sarannya adalah buat bisnis baru. Harus. Pokoknya apa aja yang bisa dijual agar bisa dapat cash secara cepat. Dan cash flow bisa mengalir lagi. Jual produk-produk yang saat ini sedang tumbuh penjualannya. Seperti di bidang-bidang bisnis yang kena dampak positif dari Corona diatas.
Akan tetapi, kalau kondisi bisnisnya masih memiliki dana darurat untuk mampu bertahan sampai 1 tahun ke depan. Maka sebaiknya yang dilakukan adalah banyak-banyak benahi bisnis, perbaiki SOP, perbaiki system manajemen, dan terus membangun komunikasi yang relevan kepada seluruh customer kita dengan situasi saat ini. Tetep bikin iklan. Lho kenapa gitu? Kok ngiklan terus sih, kan nggak bisa produksi dan jualan banyak karena SDM terbatas. Ok, kita bahas sedikit tentang otak manusia ya. Otak manusia itu memiliki kebiasaan mengejar kesenangan dan menghindari kesengsaraan. Coba sekarang cek di internet, kata kunci pencarian online untuk makanan yang higienis itu naik 20%. Lalu jawab PAIN Pelanggan. Masyarakat saat ini khawatir sekali dengan kebersihan. Ketika bisnis kuliner, coba ceritakan ke media bahwa proses produksi makanannya benar-benar bersih dan memakai masker lengkap denan sarung tangan. Agar pelanggan tidak khawatir jikalau ada pelayan yang memproduksi makanan itu ada yang bersin atau batuk sehingga dropletnya bisa saja masuk ke makanan. Nah coba komunikasikan hal ini terus ke media yaa tentang kualitas menjaga higienitas makanan.
Untuk bisnis-bisnis lainnya sebaiknya bagaimana agar market share kita tidak turun. Ini khusus untuk bisnis yang tidak bisa beroperasi tapi masih memiliki dana darurat cadangan sebaiknya kita jangan turunin budget iklan kita. Baik itu iklan berbayar maupun organic. Terus saja bercerita tentang bisnis kita. Karena kalau sampai stop dengan alasan sekarang sedang tidak beroperasi jualan, maka customer kita akan pindah ke brand lain. Kenapa? Karena ketika otak manusia sedang kosong terhadap info brand produk kita, maka fikiran konsumen kita akan dimasukkan oleh info brand lainnya. Begitu ada brand lain yang ada di fikiran konsumen, ya wes, brand lain itulah yang akan menjadi paling atas diingat oleh konsumen, sehingga konsumen kita pun akan pindah ke brand lain tersebut setelah pandemic corona ini berakhir. Jadi corona ini insyaAllah akan ada akhirnya, situasi akan normal kembali, ekonomi akan pulih kembali. Untuk itu kita tetap harus membangun komunikasi dengan para konsumen kita. Ketika ekonomi sudah normal seperti semula itu tiba, dengan demikian brand kita akan tetap berada di benak fikiran konsumen.
Semoga bermanfaat tulisan rangkuman saya di atas dari live youtube kang Dewa dan mas Dodi
Sita Oktaviani
Salah satu pejuang UKM yang baru berumur 2 tahun
Posting Komentar untuk "Strategi Branding Produk After Corona, Bersama Dewa Eka Prayoga dan Dody Zulkifli"
Terima Kasih telah membaca artikel ini, silahkan tinggalkan komentar dan tolong bantu bagikan artikel ini jika bermanfaat buat Anda.